=

Senin, 07 Juli 2014

Cerbung: Feel This Moments, (Boy X Boy) Part 4

Judul: Feel This Moments
Genre: Romance, Gay, Boy x Boy
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

* Still Scott POV*
            “kenapa kamu homophobic?” Tanya Mitch
             “tidak. Honestly, i’m gay too,” jawabku
            “oh, i didn’ t know!” ucapnya lucu
            “you’ re the first person, who know i’ m gay,” ucapku
            “how about Rachel?, is she know?” tanyanya
            “like i said, you’ re the fisrt person, who know,” kataku
            “berarti aku beruntung,” ucapnya, sebenarnya aku sudah gay dari dulu. Tapi, aku begitu tertutup dengan orientasi seksualku. Aku hanya membagi keadaanku pada orantuaku sana, Jadi hanya mereka yang tau aku gay. Kerabat dekat-pun hanya beberapa yang tahu aku gay.
            “kau tahu, orientasi seksualku juga berperan dalam kepindahanku disini,” ucap Mitch,” di Indonesia LGBT dianggap tak punya aturan, tak punya adat, dan tak punya malu. Padahal, kaum kita tidak pernah, menyinggung kaum straight. Di Indonesia biasanya, orang yang openly gay dikucilkan dari daerahnya. Jika tertangkap sedang bercinta mereka akan diarak keliling desa,”
            “benarkah, separah itu?” tanyaku
            “ya, bahkan yang lebih parah ada yang sampai di pidana,” ucap Mitch
            “sepertinya kau pergi ke negara yang tepat, meskipun hukum pernikahan sesama jenis sudah dicabut, masyarakatnya masih toleran terhadap kaum LGBT,” ucapku lantang
            “iya, aku tahu, that’ s why I’ m here,” ucapnya lirih.
            “jadi, tujuan kita selanjutnya, “ ucapku, “ the best restaurant in town,”
            ”oh, baik, aku lapar,” ucapnya
            “rumahku,” ucapku menahan tawa
            “dasar,” katanya lucu
            Aku menuju rumahku dengan mobil Mitch. Bukannya aku tak punya mobil, tapi aku lebih suka naik kendaraan umum dari pada naik kendaraan pribadi. Yah, sekalian mengurangi polusi dunia. Sebenarnya, jarak rumahku dengan kampus cukup jauh. ± tiga puluh menit jalan kaki, dan ± dua puluh menit naik kendaraan dengan kecepatan santai.
            Mitch membawa kendaraannya dengan kecepatan normal. Jika aku yang bawa pasti aku sudah melewati batas rata – rata kecepatan. Aku suka dengan mobil Mitch, dalamnya wangi meskipun arsitekturnya agak feminist. Dia memilih warna yang sangat mencolok mata. Tapi, menurutku itu lucu.
            “ngomong – ngomong, mobilmu bagus,” tanyaku basa – basi
            “oh, tidak, maksudku mobil ini payah,”  ucapnya
            “kenapa?” tanyaku
            “ini mobil sport,”  ungkapnya
            “bukankah itu bagus, semua orang ingin mobil sport,” kataku agak terkejut dengan perkataannya
            “aku agak tak suka mobil sport, maksudku mungkin kalau aku di film fast and furious aku akan jatuh cinta dengan mobil ini. tapi, kenyataannya aku tak terlalu suka karena ya untuk mobil sekecil ini harganya cukup mahal, aku lebih ingin mobil biasa,” ucapnya panjang
            “oh. Jadi, apa mobil favoritmu?” tanyaku
            “Volkswagen combi tahun apa saja,” selorohnya,
            “apa? Kau suka VW?” ucapku,” I can’ t believe that,”
            “kenapa? Dulu ayahku punya VW combi tahun ’80-an tapi sekarang sudah dijual, kau tahu aku menangis keras saat tahu kalau mobil itu sudah menjadi uang,” ungkapnya,” jadi, bagaimana denganmu?”
            “aku suka Bugatti veryon super sports 16.4 atau audi R8,” ungkapku
            “betul ‘kan! Tipe mobil favoritmu adalah mobil sports, aku sudah menyangkanya dari tadi,” selorohnya
            “are you mind-reading?” tanyaku
            “aku tahu wajah – wajah orang sepertimu, Scotty,” ujarnya
            “apakah wajahku mudah ditebak?” kataku
            “tidak juga, kadang kau sangat mudah ditebak, tapi kadang kau sangat sulit untuk ditebak,” ucapnya,
            “nah, itu rumahku yang bercat hijau pudar,” kataku ketika melihat rumahku. Mitch memarkir mobilnya dengan mulus. Aku keluar dari mobil terlebih dahulu. Mitch mengekor di belakangku. “ so, please, anggap saja rumah sendiri,” ucapku
            “kau tinggal bersama siapa?” tanyanya.
            “sendiri, orang tuaku tinggal di Queensland,” ucapku
            “lalu kenapa kau ke Melbourne?,” Tanya Mitch
            “selain untuk sekolah aku ingin menjadi lebih mandiri,” kataku, “aku nggak mau lagi dibilang anak manja dan dibully di rumah asalku,”
            “so, kamu dulu sering dibully?” Tanya Mitch
            “masa SMAku tak seindah yang kubayangkan dulu, saat itu aku sudah openly gay, bahkan orang tuakupun tahu tapi mereka tak mepermasalahkan hal itu,” ucapku panjang, “permasalahannya adalah saat teman – temanku tahu aku gay, mereka homophobic, saat itu aku dijauhi, ketika pulang sekolah aku selalu masuk bak sampah,”
            "that’s horrible,” ucapnya
            “yeah, maka dari itu setelah lulus SMA aku putuskan untuk pergi dari kampung halamanku,” ucapnya,”bagaimana denganmu?”
            “maaf?” dia tak mendengar rupanya
            “bagaimana denganmu, apakah kau sudah pernah dibully atau sebagainya?” tanyaku
            “belum, semoga saja tidak,” ucapnya,”so, aku sudah lapar, apa menu kita hari ini?”
            “bagaimana dengan sandwich? aku punya banyak ayam fillet,” ucapku
            “oke, mari kubantu,” ucap Mitch
            “nope, gak usah kau tamuku,” ucapku
            “aku kan tamu yang tidak biasa,” ucapnya lalu mengambil pisau. Cara masak Mitch sangat baik, ia seperti chef professional.
*Mitch’ s POV*
            Aku menikmati makan siang dirumah Scott. Karya kami cukup enak walaupun Scott harus bergelut dengan letupan minyak saat menggoreng ayam. “so, darimana kau belajar memasak? Kulihat caramu memasak sangat – sangat keren,” Tanya Scott basa – basi
            “aku suka memasak, bagiku memasak adalah cara yang paling tepat saat aku stress atau sedih,” ucapku, memasak sebenarnya adalah hobi nomer satuku. “ kau lihat, rasa sandwich ini sangat lezat,” ucapku lagi
            “it’s our masterpiece,” kata Scott
            “hahaha. Yeah, kau benar,” ucapku, terdengar lantunan chorus lagu dark horse dari katy perry sebagai pertanda ada telfon masuk dari handphoneku. “hallo,” salamku,” ada apa paman?”
“Bobby, dan Mack akan datang kesini, Mitch,” ucap paman Felix,” mereka baru perjalanan dari bandara menuju rumah, kau bisa pulang sekarang,” Mack adalah sebutan khusus dari paman Felix untuk Micah dan Zack, kakak kembarku.
            “oke paman, aku akan pulang, apakah kau masih di kantor?,” tanyaku
            “itu sebabnya kau harus pulang, kiddo!” ucapnya
            “oke,” ujarku singkat, aku menatap Scott,” aku harus pulang, kakakku berkunjung dari Indonesia,”
            “oke, hati - hati dijalan,” ucap Scott
            “kapan – kapan kita memasak lagi, yah!” ucapku
            “pasti,” ucapnya
            “bye, Scott,” ucapku
            “bye,” balasnya.
            Aku memasuki mobilku, lalu menyalakannya. Kuberikan lambaian tangan kepada Scott.butuh waktu sekitar 45 menit bagiku untuk sampai ke rumah. Kelihatannya Bobby, Micah, dan Zack sudah sampai di rumah karena saat aku memasuki rumah terdengar musik jazz pelan yang menenangkan dari Stevie Wonder, penyanyi kesukaan Micah. “Micah, bisakah kau menghentikan lagu itu? Lagu itu membosankan,”
            “tidak,” ucapnya biasa
            “kenapa balasannya begitu?, 2 minggu kita gak bertemu, kamu gak kangen aku?” ucapku dramatis
            “enggak, dan kamu gak pantas untuk dikangeni,” selorohnya, aku menoyor (?) kepala Micah pelan. Lalu ia nyengir lebar.
            “yang lain kemana?” tanyaku
            “Bobby aku nggak tahu kemana, tapi kalau Zack pasti kamu tau kemana,” katanya, aku menuju game room tempat kesukaan Zack, dan menemukan Zack ada disana. Bermain game Point Blank online, dengan headphone terpasang ditelinganya.
            “hai, my gorgeous brother," ucapku sambil melepas headphone Zack
            “OH, Mitch, lihat aku tertembak ‘kan! You’ re disguting,” ucapnya tajam. FYI, Micah dan Zack adalah kembar identik yang berbeda hari. Micah lahir pada tanggal 20 mei sedangkan, Zack lahir pada tanggal 21 mei. Mereka bisa diketahui melalui sifatnya. Jika Micah lebih dewasa, Zack sifatnya kekanak – kanakan dan berjiwa bebas. Tapi, kesamaan dari keduanya adalah leluconnya dan ejekannya kepadaku yang tak pernah habis.
            Bobby, datang dari pintu masuk membawa banyak sekali vegemite. “ buat apa vegemite sebanyak itu, Bobby?” tanyaku
            “Mom minta dikirimi vegemite, kau tahu, vegemite sangat susah dicari di Jakarta,” katanya
            “aku tak tahu Mom, suka vegemite!” ucapku, Momku biasanya tak suka vegemite. Menurutnya rasa vegemite rasanya keras. Lain lagi dengan Dad, ia bisa menghabiskan 3 tangkup roti berisi lapisan vegemite tebal.
            “Mom, ngidam kali,” seloroh Zack, sambil men-shut down computer di game room. “ngomong – ngomong ada makanan apa? Aku lapar,”
            “coba lihat di dapur siapa tau Margareth atau Trudy lagi memasak,” kataku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar