Genre: Romance, Gay, Boy x Boy
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Still
Scott POV*
“kenapa kamu homophobic?” Tanya
Mitch
“tidak. Honestly, i’m gay too,” jawabku
“oh, i
didn’ t know!” ucapnya lucu
“you’ re
the first person, who know i’ m gay,” ucapku
“how
about Rachel?, is she know?” tanyanya
“like i
said, you’ re the fisrt person, who know,” kataku
“berarti
aku beruntung,”
ucapnya, sebenarnya aku sudah gay dari dulu. Tapi, aku begitu tertutup dengan
orientasi seksualku. Aku hanya membagi keadaanku pada orantuaku sana, Jadi
hanya mereka yang tau aku gay. Kerabat dekat-pun hanya beberapa yang tahu aku
gay.
“kau tahu, orientasi seksualku juga
berperan dalam kepindahanku disini,” ucap Mitch,” di Indonesia LGBT dianggap
tak punya aturan, tak punya adat, dan tak punya malu. Padahal, kaum kita tidak
pernah, menyinggung kaum straight. Di Indonesia biasanya, orang yang openly gay
dikucilkan dari daerahnya. Jika tertangkap sedang bercinta mereka akan diarak
keliling desa,”
“benarkah, separah itu?” tanyaku
“ya, bahkan yang lebih parah ada
yang sampai di pidana,” ucap Mitch
“sepertinya kau pergi ke negara yang
tepat, meskipun hukum pernikahan sesama jenis sudah dicabut, masyarakatnya
masih toleran terhadap kaum LGBT,” ucapku lantang
“iya, aku tahu, that’ s why I’ m
here,” ucapnya lirih.
“jadi, tujuan kita selanjutnya, “
ucapku, “ the best restaurant in town,”
”oh, baik, aku lapar,” ucapnya
“rumahku,” ucapku menahan tawa
“dasar,” katanya lucu
Aku menuju rumahku dengan mobil
Mitch. Bukannya aku tak punya mobil, tapi aku lebih suka naik kendaraan umum
dari pada naik kendaraan pribadi. Yah, sekalian mengurangi polusi dunia.
Sebenarnya, jarak rumahku dengan kampus cukup jauh. ± tiga puluh menit jalan
kaki, dan ± dua puluh menit naik kendaraan dengan kecepatan santai.
Mitch membawa kendaraannya dengan
kecepatan normal. Jika aku yang bawa pasti aku sudah melewati batas rata – rata
kecepatan. Aku suka dengan mobil Mitch, dalamnya wangi meskipun arsitekturnya
agak feminist. Dia memilih warna yang sangat mencolok mata. Tapi, menurutku itu
lucu.
“ngomong – ngomong, mobilmu bagus,”
tanyaku basa – basi
“oh, tidak, maksudku mobil ini
payah,” ucapnya
“kenapa?” tanyaku
“ini mobil sport,” ungkapnya
“bukankah itu bagus, semua orang
ingin mobil sport,” kataku agak terkejut dengan perkataannya
“aku agak tak suka mobil sport, maksudku
mungkin kalau aku di film fast and furious aku akan jatuh cinta dengan mobil
ini. tapi, kenyataannya aku tak terlalu suka karena ya untuk mobil sekecil ini
harganya cukup mahal, aku lebih ingin mobil biasa,” ucapnya panjang
“oh. Jadi, apa mobil favoritmu?”
tanyaku
“Volkswagen combi tahun apa saja,”
selorohnya,
“apa? Kau suka VW?” ucapku,” I can’
t believe that,”
“kenapa? Dulu ayahku punya VW combi
tahun ’80-an tapi sekarang sudah dijual, kau tahu aku menangis keras saat tahu
kalau mobil itu sudah menjadi uang,” ungkapnya,” jadi, bagaimana denganmu?”
“aku suka Bugatti veryon super
sports 16.4 atau audi R8,” ungkapku
“betul ‘kan! Tipe mobil favoritmu
adalah mobil sports, aku sudah menyangkanya dari tadi,” selorohnya
“are you mind-reading?” tanyaku
“aku tahu wajah – wajah orang
sepertimu, Scotty,” ujarnya
“apakah wajahku mudah ditebak?”
kataku
“tidak juga, kadang kau sangat mudah
ditebak, tapi kadang kau sangat sulit untuk ditebak,” ucapnya,
“nah, itu rumahku yang bercat hijau
pudar,” kataku ketika melihat rumahku. Mitch memarkir mobilnya dengan mulus.
Aku keluar dari mobil terlebih dahulu. Mitch mengekor di belakangku. “ so,
please, anggap saja rumah sendiri,” ucapku
“kau tinggal bersama siapa?”
tanyanya.
“sendiri, orang tuaku tinggal di
Queensland,” ucapku
“lalu kenapa kau ke Melbourne?,”
Tanya Mitch
“selain untuk sekolah aku ingin
menjadi lebih mandiri,” kataku, “aku nggak mau lagi dibilang anak manja dan
dibully di rumah asalku,”
“so, kamu dulu sering dibully?”
Tanya Mitch
“masa SMAku tak seindah yang
kubayangkan dulu, saat itu aku sudah openly gay, bahkan orang tuakupun tahu
tapi mereka tak mepermasalahkan hal itu,” ucapku panjang, “permasalahannya
adalah saat teman – temanku tahu aku gay, mereka homophobic, saat itu aku
dijauhi, ketika pulang sekolah aku selalu masuk bak sampah,”
"that’s horrible,” ucapnya
“yeah, maka dari itu setelah lulus
SMA aku putuskan untuk pergi dari kampung halamanku,” ucapnya,”bagaimana
denganmu?”
“maaf?” dia tak mendengar rupanya
“bagaimana denganmu, apakah kau
sudah pernah dibully atau sebagainya?” tanyaku
“belum, semoga saja tidak,”
ucapnya,”so, aku sudah lapar, apa menu kita hari ini?”
“bagaimana dengan sandwich? aku
punya banyak ayam fillet,” ucapku
“oke, mari kubantu,” ucap Mitch
“nope, gak usah kau tamuku,” ucapku
“aku kan tamu yang tidak biasa,”
ucapnya lalu mengambil pisau. Cara masak Mitch sangat baik, ia seperti chef
professional.
*Mitch’
s POV*
Aku menikmati makan siang dirumah
Scott. Karya kami cukup enak walaupun Scott harus bergelut dengan letupan
minyak saat menggoreng ayam. “so, darimana kau belajar memasak? Kulihat caramu
memasak sangat – sangat keren,” Tanya Scott basa – basi
“aku suka memasak, bagiku memasak
adalah cara yang paling tepat saat aku stress atau sedih,” ucapku, memasak sebenarnya
adalah hobi nomer satuku. “ kau lihat, rasa sandwich ini sangat lezat,” ucapku
lagi
“it’s our masterpiece,” kata Scott
“hahaha. Yeah, kau benar,” ucapku,
terdengar lantunan chorus lagu dark horse dari katy perry sebagai pertanda ada
telfon masuk dari handphoneku. “hallo,” salamku,” ada apa paman?”
“Bobby,
dan Mack akan datang kesini, Mitch,” ucap paman Felix,” mereka baru perjalanan
dari bandara menuju rumah, kau bisa pulang sekarang,” Mack adalah sebutan
khusus dari paman Felix untuk Micah dan Zack, kakak kembarku.
“oke paman, aku akan pulang, apakah
kau masih di kantor?,” tanyaku
“itu sebabnya kau harus pulang,
kiddo!” ucapnya
“oke,” ujarku singkat, aku menatap
Scott,” aku harus pulang, kakakku berkunjung dari Indonesia,”
“oke, hati - hati dijalan,” ucap
Scott
“kapan – kapan kita memasak lagi,
yah!” ucapku
“pasti,” ucapnya
“bye, Scott,” ucapku
“bye,” balasnya.
Aku memasuki mobilku, lalu
menyalakannya. Kuberikan lambaian tangan kepada Scott.butuh waktu sekitar 45
menit bagiku untuk sampai ke rumah. Kelihatannya Bobby, Micah, dan Zack sudah
sampai di rumah karena saat aku memasuki rumah terdengar musik jazz pelan yang
menenangkan dari Stevie Wonder, penyanyi kesukaan Micah. “Micah, bisakah kau
menghentikan lagu itu? Lagu itu membosankan,”
“tidak,” ucapnya biasa
“kenapa balasannya begitu?, 2 minggu
kita gak bertemu, kamu gak kangen aku?” ucapku dramatis
“enggak, dan kamu gak pantas untuk
dikangeni,” selorohnya, aku menoyor (?) kepala Micah pelan. Lalu ia nyengir
lebar.
“yang lain kemana?” tanyaku
“Bobby aku nggak tahu kemana, tapi
kalau Zack pasti kamu tau kemana,” katanya, aku menuju game room tempat
kesukaan Zack, dan menemukan Zack ada disana. Bermain game Point Blank online,
dengan headphone terpasang ditelinganya.
“hai, my gorgeous brother,"
ucapku sambil melepas headphone Zack
“OH, Mitch, lihat aku tertembak
‘kan! You’ re disguting,” ucapnya tajam. FYI, Micah dan Zack adalah kembar
identik yang berbeda hari. Micah lahir pada tanggal 20 mei sedangkan, Zack
lahir pada tanggal 21 mei. Mereka bisa diketahui melalui sifatnya. Jika Micah
lebih dewasa, Zack sifatnya kekanak – kanakan dan berjiwa bebas. Tapi, kesamaan
dari keduanya adalah leluconnya dan ejekannya kepadaku yang tak pernah habis.
Bobby, datang dari pintu masuk
membawa banyak sekali vegemite. “ buat apa vegemite sebanyak itu, Bobby?”
tanyaku
“Mom minta dikirimi vegemite, kau
tahu, vegemite sangat susah dicari di Jakarta,” katanya
“aku tak tahu Mom, suka vegemite!”
ucapku, Momku biasanya tak suka vegemite. Menurutnya rasa vegemite rasanya
keras. Lain lagi dengan Dad, ia bisa menghabiskan 3 tangkup roti berisi lapisan
vegemite tebal.
“Mom, ngidam kali,” seloroh Zack,
sambil men-shut down computer di game room. “ngomong – ngomong ada makanan apa?
Aku lapar,”
“coba lihat di dapur siapa tau
Margareth atau Trudy lagi memasak,” kataku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar